Perbedaan cara memandang struktur transaksi menjadi titik awal sengketa antara PT GAN dan DJP mengenai PPh Pasal 22 Masa Pajak Desember 2018. DJP beranggapan bahwa keterlibatan kelompok tani dalam proses pembelian serat kenaf menunjukkan bahwa transaksi tersebut dilakukan melalui pedagang pengumpul. Dengan sudut pandang itu, seluruh pembelian diperlakukan sebagai objek PPh Pasal 22, menghasilkan dasar pengenaan pajak sebesar Rp536.800.045,00 dan PPh terutang Rp2.684.000,00. PT GAN tidak setuju, menilai koreksi tersebut tidak memperhatikan cara transaksi berlangsung secara faktual.
Menurut PT GAN, pembayaran dilakukan langsung kepada petani, bukan kepada kelompok yang berfungsi sebagai pengumpul. Mereka menegaskan bahwa tidak pernah ada satu pun petani yang menerima pembayaran melebihi Rp20.000.000,00 sehingga tidak memenuhi syarat sebagai objek PPh Pasal 22. Angka yang terlihat besar dalam pembukuan disebut sebagai akumulasi nilai pembelian per kelompok, yang hanya bertindak sebagai koordinator, bukan penerima pembayaran tunggal. Perusahaan bahkan menyampaikan rincian pembelian per petani untuk menunjukkan bahwa nilai transaksi individu tetap berada di bawah ambang batas.
Majelis kemudian menemukan fakta penting yang menjadi titik balik perkara ini: DJP menggunakan angka dari akun HPP (pemakaian persediaan) sebagai dasar koreksi, bukan angka pembelian sebenarnya. Kesalahan metodologis ini menjadikan perhitungan DJP tidak akurat dan terlalu besar. Karena itu, Majelis melakukan penelaahan ulang terhadap seluruh dokumen transaksi, termasuk pembagian pembelian per petani dan per kelompok. Kedua pihak akhirnya menyetujui bahwa total pembelian tahun 2018 sebesar Rp6.817.861.175,00 namun tetap berbeda pendapat mengenai transaksi mana yang benar-benar melampaui batas Rp20.000.000,00.
Hasil pemeriksaan Majelis menunjukkan bahwa sebagian besar koreksi DJP tidak memiliki dasar pengenaan pajak yang benar. Namun, Majelis juga tidak menutup mata terhadap adanya sejumlah kecil transaksi yang memang melebihi ambang batas. Dari seluruh bukti yang diteliti, terdapat pembelian senilai Rp22.042.401,00 yang terbukti berada di atas batas dan memenuhi syarat sebagai objek PPh Pasal 22. Dengan demikian, meskipun dasar perhitungan DJP keliru, keberadaan objek pajak tersebut tetap sah secara hukum.
Karena hanya sebagian kecil transaksi yang memenuhi ketentuan, Majelis membatalkan koreksi DJP sebesar Rp514.757.644,00 dan hanya mempertahankan Rp22.042.401,00 sebagai DPP yang benar. Dari angka ini, PPh Pasal 22 yang terutang adalah Rp110.000,00 ditambah sanksi bunga Rp48.048,00. Putusan akhirnya menyatakan banding dikabulkan sebagian, sekaligus menegaskan bahwa penetapan PPh Pasal 22 harus didasarkan pada nilai pembelian yang riil, bukan akumulasi kelompok atau angka HPP yang tidak relevan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini